Halaman

Jumat, 21 September 2012

Pengakuan Sandriana Malakiano (Mantan Presenter Metro TV) yg Dilarang Siaran Karena Berjilbab

'"


kenapa Sandriana Malakiano tak pernah nyiar & baca berita lagi di metro tv.
 inilah Pengakuannya.

.
Tampaknya demokrasi dan kebebasan beragama kita semakin hilang, hal ini bisa terlihat dari seorang Sandrina Malakiano Fatah yang dipaksa untuk melepas jilbanya atau terus siaran. Tanpaknya Metro TV lebih menginginkan wanita menggunakan bikini atau busana yang mengundang sahwat bagi pria.

Pengalaman Sandrina Malakiano Fatah ini diambil dari Facebooknya yang menunjukkan bahwa cara berfikir orang-orang yang merasa liberal justru sudah masuk kejurang pengekangan terhadap kebebasan orang lain untuk memilih.

Setiap kali sebuah musibah datang, maka sangat boleh jadi di belakangnya sesungguhnya menguntit berkah yang belum kelihatan. Saya sendiri yakin bahwa – sebagaimana Islam mengajarkan – di balik kebaikan boleh jadi tersembunyi keburukan dan di balik keburukan boleh jadi tersembunyi kebaikan.

Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakai hijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, Metro TV.

Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena berjilbab. Pimpinan Metro TV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yang mengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya di tingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orang dalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang sudah ditutup.

Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yang
tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta,
akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses
negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperoleh
penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusi
Metro TV.

Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada
sinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya saya mengundurkan diri.
Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti saya
buat. Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter dan
presenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudah
menggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar,
ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRI
Pusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilangan
pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.

Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang
terbaik dan bahwa "dunia tak selebar daun Metro TV', saya bergeming
dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya akan
mendapat berkah dari-Nya.

HIKMAH BERJILBAB

Benar saja. Sekitar satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu
saya terkena radang pankreas akut dan mesti dirawat intensif di rumah
sakit. Saya tak bisa membayangkan, jika saja saya masih aktif di Metro
TV, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi Ibu selama 47 hari di
rumah sakit hingga Allah memanggilnya pulang pada 28 Mei 2007 itu.
Bagaimana mungkin saya bisa menemaninya selama 28 hari di ruang rawat
inap biasa, menungguinya di luar ruang operasi besar serta dua hari di
ruang ICU, dan kemudian 17 hari di ruang ICCU?

Hikmah lain yang saya sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya
mendapat kesempatan untuk mempelajari Islam secara lebih baik.
Kesempatan ini datang antara lain melalui beragam acara bercorak
keagamaan yang saya asuh di beberapa stasiun TV. Metro TV sendiri
memberi saya kesempatan sebagai tenaga kontrak untuk menjadi host
dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan Ramadhan.

Karena itulah, saya beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog para
profesor di acara "Ensiklopedi Al Quran" selama Ramadhan tahun lalu,
misalnya. Saya pun mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pemahaman
baru tentang agama dan keberagamaan. Islam tampil makin atraktif,
dalam bentuknya yang tak bisa saya bayangkan sebelumnya. Saya bertemu
Islam yang hanif, membebaskan, toleran, memanusiakan manusia,
mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh penghargaan terhadap
kemajemukan, dan melindungi minoritas.

Saya sama sekali tak merasa bahwa saya sudah berislam secara baik dan
mendalam. Tidak sama sekali. Berjilbab pun, perlu saya tegaskan,
bukanlah sebuah proklamasi tentang kesempurnaan beragama atau tentang
kesucian. Berjibab adalah upaya yang amat personal untuk memilih
kenyamanan hidup.

Berjilbab adalah sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu
mempublikasikan segenap kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada
akhirnya adalah sebuah pilihan personal. Saya menghormati pilihan
personal orang lain untuk tidak berjilbab atau bahkan untuk berpakaian
seminim yang ia mau atas nama kenyamanan personal mereka. Tapi, karena
sebab itu, wajar saja jika saya menuntut penghormatan serupa dari
siapapun atas pilihan saya menggunakan jilbab.

Hikmah lainnya adalah saya menjadi tahu bahwa fundamentalisme bisa
tumbuh di mana saja. Ia bisa tumbuh kuat di kalangan yang disebut
puritan. Ia juga ternyata bisa berkembang di kalangan yang mengaku
dirinya liberal dalam berislam.

Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan Metro
TV, saya menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William Liddle –
seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai
sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua – di sebuah lembaga
nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman, yang
dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam.

Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan
saya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan
sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan
Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu
komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah, "Kamu
tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar."

Saya sungguh terkejut karena sikap mereka bertentangan secara
diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu
pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang di
tengah kemajemukan.

Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang
dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya? Bagaimana
mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan
berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga
semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperoleh
hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan
kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung
meredup dan otaknya mengkeret mengecil?

Bersama suami, saya kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme –
mungkin dalam bentuknya yang lebih berbahaya – ternyata bisa
bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar